Fatwa MUI

Pasar Modal

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang


Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

Menimbang :

a. Bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal.

b. Bahwa pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah dikembangkan di berbagai negara.

c. Bahwa umat Islam Indonesia memerlukan Pasar Modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip Syariah.

d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

Mengingat :

• Firman Allah, antara lain: ...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2]: 278-279).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29)

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (QS. Al-Jumu’ah [62] : 10)

Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...(QS. Al-Ma’idah [5]: 1)

• Hadis Nabi s.a.w antara lain:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).

“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Hukaim bin Hizam).

“Tidak halal (memberikan) pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal (melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya).

“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Rasulullah s.a.w melarang (untuk) melakukan penawaran palsu” (Muttafaq ‘alaih).

“Nabi SAW melarang pembelian ganda pada satu transaksi pembelian” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

“Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memilikinya” (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam).

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Al-Tirmidzi dari Amr bin Auf)

“Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah).

“Dari Ma’mar bin Abdullah, dari Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah melakukan ikhtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah” (HR. Muslim).

• Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.”.

“Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas milik orang lain tanpa seizinnya”


Memperhatikan :

1. Pendapat Ulama, antara lain:

a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirut:Dar al Fikr, tanpa tahun]: Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.

b. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841: Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.

c. Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan: (Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.

d. Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.

e. Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah: Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan

2. Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang Reksa Dana Syariah tanggal 24-25 Rabiul Awwal 1417H/29-30 Juli 1997M.

3. Undang-Undang RI no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.

4. SK DSN-MUI no. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional.

5. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal 14 Maret 2003 M / 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan bersama Bapepam, APEI, dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang kerjasama pengembangan dan implementasi prinsip syariah di pasar modal Indonesia.

6. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M / 10 Jumadil Awwal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia.

7. Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada 14-15 Maret 2003 M / 11 - 12 Muharram 1424 H.

8. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M.

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

PASAL 1

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

2. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.

3. Efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.

4. Shariah Compliance Officer (SCO) adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal.

5. Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu efek syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

6. Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.

BAB II

PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL

PASAL 2

Pasar Modal

1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memnuhi prinsip-prinsip syariah.

2. Suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III

EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH

Pasal 3

Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik

1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:

a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.

b. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

c. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;

d. Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;

3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan.

4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki syariah compliance officer.

5. Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.

BAB IV

KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH

Pasal 4

Jenis Efek Syariah

1. Efek syariah mencakup saham syariah, obligasi syariah, reksa dana syariah, kontrak investasi kolektif efek baragun aset (KIKEBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.

3. Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

4. Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harga (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan penggunaan investasi.

5. Efek beragun aset syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA syariah yang berportofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

6. Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

BAB V

TRANSAKSI EFEK

Pasal 5

Transaksi Yang Dilarang

1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.

2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:

a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.

b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);

c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;

d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;

e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; dan

f. Ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;

g. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.

Pasal 6

Harga Pasar Wajar

Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.

BAB VI

PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI

Pasal 7

Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan pihak lain dalam rangka penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8

1. Prinsip-prinsip syariah mengenai pasar modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum di atur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris

K.H. M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

Tabarru' pada Asuransi Syari'ah

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 53/DSN-MUI/III/2006 tentang

Tabarru' pada Asuransi Syari'ah

Menimbang :

a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci;

b. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk asuransi;

c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

1. Firman Allah SWT, antara lain:

o Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. al-Nisa’ [4]: 2).

o “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).

o “Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).

2. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:

o “Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).

o “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).

o “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).

3. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain :

o “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]: 2).

4. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:

o “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

o “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).

o “Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).

o “Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan, dan janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sederkah (zakat dan nafakah)” (HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash).

o “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

o “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).

5. Kaidah fiqh:

o “Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

o “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”

o “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”

Memperhatikan:

1. Pendapat para ulama, antara lain:

• Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan. (Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287).

• Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik. (Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min, h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h. 53).

• Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah (Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83).

2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H / 14-15 Juni 2005 M.

3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada 23 Shafar 1427/23 Maret 2006.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:

• a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;

• b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.

Kedua : Ketentuan Hukum

• 1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.

• 2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.

Ketiga : Ketentuan Akad

1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.

2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:

• a. hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;

• b. hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;

• c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;

• d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’

• 1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.

• 2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).

• 3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.

Kelima : Pengelolaan

• 1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.

• 2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.

• 3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.

Keenam : Surplus Underwriting

• 1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:

o a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.

o b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.

o c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.

2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.

Ketujuh : Defisit Underwriting

• 1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).

• 2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.

Kedelapan : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H


DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA


Ketua, Sekretaris,

DR. KH. M.A Sahal Mahfudh Drs. H.M. Ichwan Sam

Pedoman Umum Asuransi Syariah

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 21/DSN-MUI/X/2001, tentang:


Pedoman Umum Asuransi Syariah

Menimbang :

a. Bahwa dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.

b. Bahwa salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat dilakukan melalui asuransi.

c. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan persoalan baru yang masih banyak dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktifitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.

d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan masyarakat, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang asuransi yang berdasarkan prinsip Syariah untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang memerlukannya.

Mengingat :

• Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr [59] : 18).

• Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 1)

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90 )

Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2: 275).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs. 2 : Al-baqarah : 278).

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah [2] : 279)

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 280)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29).

• Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2).

• Hadis-hadis Nabi S.A.W tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain:

• “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

• “Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)

• “Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).

• “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

• “Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari & Muslim dari Umar bin Khattab).

• “Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

• “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutangnya” (HR. Bukhari).

• “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).

• Kaidah Fiqh yang menegaskan: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

• “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”

• “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”


Memperhatikan :

1. Hasil Lokakarya Asuransi Syariah DSN-MUI tanggal 13-14 Rabiuts Tsani 1422 H / 4 - 5 Juli 2001 M.

2. Pendapat dan saran peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada Senin, tanggal 15 Muharram 1422 H / 09 April 2001.

3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada 25 Jumadil Awwal 1422 H / 15 Agustus 2001 dan 29 Rajab 1422 H / 17 Oktober 2001.

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum

1. Asuransi syariah (ta’min, takful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi seuai dengan kesepakatan dalam akad.

6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajb diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Kedua : Akad dalam asuransi

1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’.

2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:

a. Hak & kewajiban peserta dan perusahaan;

b. Cara dan waktu pembayaran premi;

c. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’

1. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).

2. Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam akad tijarah & tabarru’

1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.

2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.

Kelima : Jenis asuransi dan akadnya

1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi

1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru.

2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.

3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

4. Klaim atas akad tabarru merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi

1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.

2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.

Kesepuluh : Pengelolaan

1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).

3. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan tambahan

1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.

2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah.

3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 17 Oktober 2001

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris

K.H. M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin